Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Sabtu, 18 Oktober 2008

Banyak Arca Kuno Masih di Tangan Kolektor

Views

Oleh Djulianto Susantio


Ada berbagai alasan mengapa orang antusias menjadi kolektor barang antik, antara lain sebagai hobi, demi gengsi, meningkatkan status sosial, dan juga karena nilai komersial yang tinggi.

Kepuasan semakin bertambah apabila benda-benda itu tergolong unik, langka, artistik, dan bernilai historis. Maka tanpa disadari, dampak utama adanya kolektor barang antik adalah adanya pencurian dan segala perbuatan negatif lainnya terhadap benda-benda purbakala.

Di antara berbagai benda antik, salah satu artefak yang menjadi perhatian para kolektor adalah arca kuno, baik arca batu maupun arca logam. Karena ada kolektornya, perdagangan arca kuno semakin marak.

Karena perdagangan semakin marak, pencurian pun merajalela. Ironis, secara berbarengan pernah dilakukan pencurian dan pemalsuan koleksi Museum Radya Pustaka Solo akhir 2007 lalu oleh orang dalam sendiri. Umumnya, yang diincar pencuri adalah arca batu.

Hal ini karena arca-arca batu biasanya terdapat di tempat terbuka yang lemah pengawasan, terpencil, dan merupakan bagian dari candi. Berbagai upaya pemenggalan, pencongkelan, dan penggotongan dari berbagai situs purbakala, sering terjadi di berbagai pelosok daerah sejak lama.

Dengan mengiming-imingi sejumlah uang kepada penduduk desa yang masih lugu, “operasi fajar” yang dilakukan para penadah barang antik atau orang suruhannya sering kali membuahkan hasil. Agar memperoleh keuntungan besar, arca-arca ilegal itu biasanya dijual kepada sindikat internasional atau turis mancanegara.

Berbeda dengan arca batu, arca logam lebih sulit dicuri orang. Umumnya, karena bentuknya yang kecil dan ringan, arca-arca logam tidak dibiarkan berada di tempat terbuka. Artefak-artefak itu hampir selalu disimpan di dalam museum yang tentu saja lebih ketat penjagaannya. Entah dengan cara apa, banyak dari barang-barang itu kemudian bisa diselundupkan ke luar negeri.

Banyak kejadian “unik” di negara kita, misalnya, arca-arca batu yang hilang dari candi-candi di Jawa, tiba-tiba sudah berada di mancanegara. Bahkan, muncul dalam katalogus sebuah balai lelang ternama. Kejadian serupa juga pernah dialami arca batu dari Candi Borobudur dan arca logam temuan dari Kalimantan tahun 2005 lalu.


Kebesaran Sejarah

Ironisnya, arca-arca logam yang diduga kuat merupakan hasil curian itu berhasil terjual dalam pelelangan di Belanda dengan harga miliaran rupiah. Yang ajaib, banyak kolektor Indonesia membeli barang-barang curian itu di mancanegara, lalu membawanya pulang ke Indonesia tanpa tahu bahwa barang-barang itu hasil curian. Ini dialami oleh Hashim Djojohadikusumo dalam kasus Museum Radya Pustaka Solo. Ketika itu ia membeli sejumlah arca dalam pelelangan di London, Inggris.

Mengapa arca kuno banyak diburu kolektor, tentulah tidak lepas dari kebesaran masa sejarah kuno sekaligus sejarah kesenian yang pernah dialami bangsa kita. Sejak abad ke-5 Masehi, sejumlah kerajaan kuno mulai berdiri di Indonesia.

Ada kerajaan yang bercorak Hindu dan Buddha. Ada pula kerajaan atau kesultanan Islam. Kerajaan-kerajaan ini terdapat di sejumlah pulau dan kota di seluruh Indonesia. Kerajaan-kerajaan besar itu bukan hanya meninggalkan bangunan-bangunan megah seperti candi, tetapi juga artefak-artefak kecil macam arca. Kala itu perdagangan dengan dunia luar sudah berlangsung meriah. Banyak arca (disebut arca lepas) yang merupakan benda dagang dan benda persembahan juga ditemukan di berbagai situs arkeologi.

Artefak kuno yang berupa arca memang sejak lama selalu menarik perhatian para kolektor. Yang paling diagung-agungkan adalah karena ukirannya begitu indah dan kerap berbeda antara langgam yang satu dengan langgam lainnya. Penggambarannya begitu alami dan hidup, menandakan keterampilan tinggi seniman pembuatnya.

Arca kuno pun memiliki fungsi dekoratif, sehingga sering dipakai sebagai penghias ruangan. Dengan demikian, kemungkinan harga komersialnya menjadi tinggi, tidak terelakkan lagi.

Sebenarnya, apresiasi terhadap koleksi arca kuno bukan hanya didominasi warga asing. Sejumlah orang Indonesia juga sudah memiliki minat terhadap benda-benda itu. Banyak dari mereka justru tidak memandang arca sebagai benda investasi, melainkan sebagai benda budaya yang pantas dilestarikan.

Beberapa kolektor lokal yang menggemari arca kuno antara lain Go Tik Swan (KRT Hardjonagoro). Selama bertahun-tahun dia berburu arca-arca kuno. Dia pun memberi wasiat bahwa setelah meninggal, koleksi-koleksi tersebut akan diserahkan kepada sebuah museum di kota tempat tinggalnya, Solo.


Kita Siap?

Seorang pengusaha hotel di Malang, Anhar, juga banyak mengoleksi arca kuno. Arca-arca tersebut dia tempatkan di beranda hotelnya, bahkan hingga ke setiap penjuru ruangan dan kamar. Kegiatan mengoleksi arca kuno pernah digeluti mantan Wakil Presiden Adam Malik. Begitu juga dengan Hashim Djojohadikusumo yang memiliki sebuah yayasan pelestarian warisan budaya. Kalau kita memandangnya dari sudut pelestarian, tentu upaya yang mereka lakukan patut diacungi jempol.

Menurut catatan sejarah, pada masa penjajahan banyak arca kuno menjadi penghias rumah-rumah pejabat Hindia Belanda. Di Gedung Agung Yogyakarta, misalnya, sampai kini masih tersimpan sejumlah arca yang berasal dari candi-candi di dataran Prambanan dan Sorogedug.

Boleh dikatakan, arca-arca yang masih berada di luar situs atau museum di Indonesia tidak menjadi masalah. Yang rumit justru adalah arca-arca yang masih berada di mancanegara. Tidak ada dokumentasi yang lengkap mengapa arca-arca tersebut bisa berada di sana. Dari beberapa literatur hanya diketahui beberapa kasus, misalnya terhadap arca-arca kuno yang kini berada di Thailand.

Arca-arca tersebut merupakan hadiah dari pemerintah Hindia Belanda kepada Raja Siam ketika berkunjung ke tanah Jawa pada abad XIX. Yang tercatat antara lain beberapa potong arca dari Candi Borobudur dan candi-candi lain di Jawa. Koleksi-koleksi tersebut kini disimpan di Istana Kerajaan Grand Palace.

Sejumlah arca batu juga masih berada di Jepang. Arca-arca itu merupakan jarahan tentara Jepang dari sejumlah candi untuk diberikan kepada kaisar mereka, Tenno Heika, ketika berulang tahun.

Yang sulit dilacak adalah arca-arca yang dimiliki oleh perseorangan. Karena bisa dipastikan arca-arca tersebut merupakan barang curian dari berbagai situs di Indonesia, tentu ada keengganan dari para kolektor untuk menginformasikannya secara terang-terangan.

Tidak dimungkiri, banyak arca kuno milik kita masih berada di mancanegara. Sekarang tinggal niat kita saja, apakah ingin dibiarkan tetap berada di sana, ataukah dikembalikan ke sini? Kalau dikembalikan ke sini, apakah kita siap menyediakan tempat penampungannya?

Penulis adalah seorang arkeolog, tinggal di Jakarta

(Sinar Harapan, 1 Februari 2008)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik