Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Jumat, 17 Oktober 2008

Batu Lord Minto dari Malang

Views


Oleh Djulianto Susantio



Upaya pemerintah untuk terus mengupayakan agar benda-benda peninggalan sejarah yang masih berada di luar negeri dapat dibawa pulang ke Tanah Air (Kompas, 27/12/2006), tentu saja patut disambut baik. Menurut berita tersebut, yang kini sedang diusahakan adalah pengembalian sebuah prasasti yang masih tersimpan pada keluarga keturunan Lord Minto.

Sangguran, demikianlah nama prasasti tersebut, menurut dokumentasi tertulis adalah sebuah prasasti batu. Tahun penemuannya dan siapa penemunya tidak tercatat, namun tempat penemuannya diketahui berada di daerah Ngandat, Malang. Alih aksara prasasti ini pernah dilakukan oleh JLA Brandes dan NJ Krom kemudian dimuat dalam Old Javaansche Oorkonden.

Sewaktu menjadi Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Belanda (1811-1815), Raffles membawa prasasti tersebut ke tempat kediaman Lord Minto di Skotlandia, sehingga dikenal dengan nama “Batu Minto”. Lord Minto adalah Gubernur Jenderal Inggris di India dan atasan Raffles. Yang luar biasa adalah Prasasti Sangguran memiliki ketinggian dua meter dengan berat mencapai 300 ton. Menjadi pertanyaan bagaimana mengangkat dan membawa batu itu ke sana.

Prasasti Sangguran ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa kuno. Isi pokoknya adalah tentang peresmian Desa Sangguran menjadi sima (tanah yang dicagarkan) oleh Sri Maharaja Rakai Pangkaja dyah Wawa Sri Wijayaloka Namestungga pada 14 Suklapaksa bulan Srawana tahun 850 Saka. Jika dikonversi ke dalam tahun Masehi, maka identik dengan 2 Agustus 928.

Prasasti tersebut menyebutkan pula nama Rakryan Mapatih I hino pu Sindok Sri Isanawikrama dan istilah sima kajurugusalyan di Mananjung. Yang menarik, sima tersebut ditujukan khusus bagi para juru gusali, yaitu para pandai (besi, perunggu, tembaga, dan emas). Isi prasasti seperti itu boleh dikatakan amat langka, jarang terdapat pada prasasti-prasasti lain yang pernah ditemukan di Indonesia.


Berpusat di Sekitar Malang

Ahli epigrafi Boechari menafsirkan bahwa mungkin pada masa pemerintahan Raja Wawa ada sekelompok pandai atau seorang pemuka pandai, yang berjasa kepada raja. Pendapatnya didasarkan atas analogi dari kitab kuno Pararaton yang menyebutkan Mpu Gandring, tokoh yang dianggap pembuat keris legendaris, bersama keturunannya mendapat hak istimewa dari Sri Rajasa (Ken Arok) berupa anugerah sima kajurugusalyan (Sejarah Nasional Indonesia II, 1984).

Di mata para epigraf, Prasasti Sangguran juga dianggap unik karena menyebutkan istilah rakryan kanuruhan. Menurut J.G. de Casparis, kanuruhan berasal dari nama kerajaan Kanjuruhan yang disebut dalam Prasasti Dinoyo (760 Masehi). Kerajaan itu pernah berpusat di sekitar Malang sekarang.

Rupa-rupanya kerajaan Kanjuruhan itu pada suatu ketika ditaklukkan oleh raja Mataram. Namun keturunan raja-rajanya tetap berkuasa sebagai penguasa daerah dengan gelar rakryan kanuruhan. Oleh karena gelar kanuruhan ditemukan di antara tulisan-tulisan singkat pada salah satu gugusan Candi Loro Jonggrang (Prambanan), diperkirakan sebagai penguasa daerah, dia menyumbangkan candi perwara pada candi kerajaan itu. Sayangnya hubungan antara Prasasti Sangguran dengan Candi Prambanan, belum diteliti secara mendalam oleh para pakar.

Demikianlah sekilas tentang Prasasti Sangguran yang tengah diincar pemerintah Indonesia untuk diminta kembali dari “tempat pengasingannya”. Bentuknya yang unik dan isinya yang langka membuat prasasti itu begitu luar biasa.

Secara umum dapat dikatakan bahwa artefak-artefak yang menarik bukan cuma prasasti tersebut. Hanya sampai sejauh ini kita tidak memiliki data pasti berapa banyak artefak Indonesia yang masih berada di mancanegara. Yang pasti adalah artefak tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni artefak tertulis dan artefak nontertulis. Dibandingkan artefak nontertulis, melacak artefak tertulis relatif lebih mudah. Apalagi bila berada di lembaga-lembaga pemerintah seperti museum, perguruan tinggi, dan institusi penelitian.


Terbang ke Mancanegara

Bisa dipastikan belum banyak orang tahu kalau Prasasti Watukura (bertarikh 902 hingga 1348) sejak lama bermukim di Denmark dan menjadi koleksi keturunan keluarga L Norgaard. Prasasti Wukayana (angka tarikhnya tidak ada) saat ini tersimpan di Museum Tropen, Prasasti Sangsang di Koninklijk Instituut voor de Tropen, Prasasti Guntur di Museum Maritim, dan Prasasti Tulangan di Museum voor Volkenkunde, semuanya di Belanda.

Di Prancis ada Prasasti Dhimalasrama, sementara di India ada Prasasti Pucangan (Batu Kalkutta). Kemudian di Thailand masih banyak tersimpan arca-arca batu yang berasal dari Candi Borobudur dan candi-candi lain di Pulau Jawa. Benda-benda tersebut teridentifikasi sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda kepada Raja Siam ketika berkunjung ke Tanah Jawa pada abad ke-19. Artefak-artefak batu kuno juga pernah diboyongi ke Jepang. Dulu merupakan jarahan para serdadu untuk dihadiahkan kepada kaisar mereka, Tenno Heika, ketika berulang tahun.

Itu baru sebagian kecil dari sekian banyak benda purbakala Indonesia yang “terbang” ke mancanegara karena berbagai sebab, seperti penyelundupan, cenderamata dari pemerintah yang berkuasa, dan untuk diteliti, yang terjadi sejak zaman penjajahan serta “oleh-oleh” wisatawan ketika berkunjung ke sini pasca kemerdekaan.

Sebenarnya, secara bilateral pemerintah Indonesia telah menjalin kerja sama kebudayaan dengan beberapa negara, terutama Belanda. Hasil konkret dari kerja sama itu adalah beberapa artefak kita telah dikembalikan, antara lain naskah Nagarakretagama, arca Prajnaparamita, dan gong “Prabu Geusan Ulun”. Namun dikabarkan, gong bersejarah yang kini tersimpan di Museum Sumedang, tidak tertangani dengan baik karena masalah dana dan sumber daya manusia khas negara kita.

Pengembalian artefak-artefak kuno milik nenek moyang kita, sudah jelas sangat penting. Terutama untuk menghidupkan kembali pendidikan, penelitian, dan kepariwisataan yang seakan-akan semakin terpuruk. Namun yang lebih penting adalah sudah siapkah kita untuk menerima benda-benda tersebut lalu memeliharanya dengan sebaik-baiknya? Orang-orang yang tahu masalah kebudayaan, tak ayal akan bilang, “Museumnya saja masih belum bagus, bagaimana merawat benda-bendanya nanti”. Mudah-mudahan dengan keoptimisan, kita akan mampu menangani artefak-artefak bersejarah dari mancanegara yang akan dikembalikan itu.

Sebaiknya kita meniru langkah yang pernah dilakukan Korea Selatan. Sejak lama pemerintah di sana bersama rakyatnya aktif meminta kembali artefak-artefak kuno bangsanya yang pernah digondol tentara Jepang yang menduduki semenanjung itu untuk waktu cukup lama. Kini Korsel tengah membangun museum modern yang dilengkapi peralatan canggih untuk menampung benda-benda bersejarah itu.

Penulis adalah arkeolog.

(Sinar Harapan, 3 Februari 2007)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik