Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Jumat, 06 Maret 2009

Arkeologi dan Studi Perbatasan

Views


Oleh: Djulianto Susantio

Ketika meneliti mumi Tutankhamun pada awal abad ke-20, para arkeolog masih belum bisa memastikan sebab-musabab kematian raja muda Mesir itu. Dugaan kuat hanya mengatakan Tutankhamun mati dibunuh dengan cara dipukul kepalanya atau mungkin diracun.

Penafsiran demikian kelihatannya mudah karena menurut sumber tertulis yang ditemukan di komplek makamnya, Tutankhamun meninggal pada usia belasan tahun. Mana ada sih anak muda yang meningggal karena penyakit kronis, paling-paling karena perang. Mungkin begitu anggapan umum.

Tafsiran demikian begitu kuat. Ini karena arkeologi masih mengembangkan pemikirannya secara tradisional, hanya berdasarkan penelitian terhadap sumber tertulis dan sumber tak tertulis macam gambar-gambar di kompleks pekuburan Firaun itu.

Namun berkat perkembangan teknologi modern, teori kematian Tutankhamun yang masih misterius itu kemudian berubah drastis. Dengan bantuan alat-alat canggih, seperti CT-scan, sinar X, komputer tiga dimensi, dan peralatan endoskopi, tahun 2005 lalu para pakar berhasil menyimpulkan bahwa Tutankhamun mati karena penyakit infeksi.

Semula memang agak sulit menafsirkan kematian raja muda Mesir itu. Terlebih karena ada tulang dada dan tulang rusuknya yang patah. Diperkirakan, tulang-tulang itu patah karena kecerobohan para penemu dan peneliti pertama. Namun dalam sebuah dokumen tertulis yang ditinggalkan arkeolog Howard Carter, diketahui bahwa mereka tidak sedikit pun mengutak-atik mumi tersebut. Dengan demikian disimpulkan bahwa patahan tulang tersebut sengaja dilakukan oleh para pembalsem mayat atau patah karena berbenturan dengan tanah sewaktu Tutankhamun terjatuh.

Kesimpulan bahwa Tutankhamun mati karena penyakit infeksi dinyatakan atas dasar beberapa pertimbangan. Pertama, pada batok kepala Tutankhamun tidak ditemukan retakan, tanda-tanda bekas pukulan. Batok kepalanya pun relatif normal, sehingga teori yang mengatakan Tutankhamun mati dipukul atau diracun diragukan orang.

Kedua, terlihat sedikit retakan pada tempurung lutut kiri Tutankhamun. Ciri-ciri orang menahan kesakitan berupa gumpalan darah pun terdapat pada bagian kaki. Karena adanya luka itu, kaki kiri Tutankhamun lebih pendek daripada kaki kanannya. Perbedaan tersebut nyata sekali terlihat oleh para peneliti pada layar komputer.

Kesimpulan demikian tampaknya sudah final dan diterima berbagai kalangan, meskipun belum diketahui pasti apakah dia terjatuh ketika menunggang kuda, terpeleset di istananya, atau tersandung di medan perang, misalnya. Semua kegelapan itu diketahui berkat kerja keras para pakar paleopatologi (penyakit purba), kedokteran forensik, radiologi, komputer, dan banyak lagi. Sejak ditemukan pada 1920, baru tahun 2005 persoalan Tutankhamun terkuak lebar. Berarti para pakar memerlukan waktu 85 tahun untuk menjawab keingintahuan masyarakat terhadap kematian misterius itu.

Selain itu, wajah Tutankhamun berhasil direkonstruksi (reka ulang) secara akurat. Hasil olah seni secara ilmiah yang dilakukan di Prancis ternyata mirip sekali dengan kerja serupa di AS. Maka sekarang dunia mengenal ketampanan wajahnya. Bukan hanya dari topengnya yang begitu melegenda, tetapi dari gambar yang sesungguh-sungguhnya.

Arkeolog Inggris Howard Carter memang yang menemukan makam kuno Tutankhamun di Mesir. Namun Carter dan berbagai arkeolog lainnya tidak mampu membuat kesimpulan secara maksimal karena ketiadaan teknologi ketika itu.


Interdisipliner

Demikian juga ketika para arkeolog menemukan situs arkeologi atau tengkorak purba. Berapakah umur artefak-artefak itu? Apakah dua ribu tahun, puluhan ribu tahun, ataukah mungkin jutaan tahun?

Tak ada satu pun arkeolog yang mampu menjawabnya secara mutlak. Mereka terlebih dulu harus meminta bantuan kepada pakar-pakar lain. Biasanya untuk mengetahui segala sesuatu dari masa prasejarah, mereka membawa secuil sampel itu kepada pakar fisika nuklir. Maklum saja, pada zaman prasejarah orang belum mengenal tulisan.

Dalam analisisnya yang pertama kali, misalnya, hanya dengan segengggam temuan arang, fisikawan Willard Flibby dapat menentukan tarikh mutlak sebuah situs atau artefak. Caranya adalah menghitung atom C-14-nya yang ada dalam arang tersebut. Dengan demikian benda-benda arkeologi yang terdapat di sekitar temuan arang tersebut dapat diberi tarikh pula secara mutlak. Cara menentukan tarikh seperti itu dikenal sebagai Pertanggalan Radio Karbon (Radio Carbon Dating).

Jelas bahwa arkeologi—yang termasuk ilmu pengetahuan budaya—merupakan ilmu yang bersifat interdisipliner. Sering kali dalam menyelesaikan suatu persoalan, arkeologi tidak mampu berdiri sendiri, tetapi harus dibantu ilmu-ilmu lain. Sejak lama memang sejumlah persoalan arkeologi hanya dapat dipecahkan dengan bantuan analisis (antara lain) ilmu-ilmu eksakta, seperti CT-scan dan Pertanggalan Radio Karbon tadi.

Jika dilakukan secara mandiri, tentu tugas yang dibebankan kepada arkeologi terasa sangat berat. Masalahnya, tidak semua kegiatan manusia masa lampau terekam dalam bentuk benda. Apalagi yang sampai ke tangan para peneliti dengan selamat sambil menyampaikan “berita” atau “pesan”.

Perlunya bantuan ilmu-ilmu lain pernah diungkapkan arkeolog senior Prof. Moendardjito dalam sebuah makalahnya. Menurutnya, data arkeologi yang beraneka ragam bentuk itu, memiliki keterbatasan dalam jumlah dan mutu informasi. Maka hal itu harus dibuat “bicara” dengan cara gotong royong melalui gagasan, konsep, teori, metode, dan teknik yang berasal dari golongan ilmu-ilmu lunak (soft sciences) maupun ilmu-ilmu keras (hard sciences).

Bahkan di mancanegara, menurut Moendardjito, disiplin arkeologi sudah bergabung dengan disiplin lain. Ini terlihat dari lahirnya studi-studi perbatasan sebagaimana tercermin dari istilah-istilah arkeologi sejarah, arkeologi antropologi, etnoarkeologi, arkeologi sosial, paleoekonomi, paleodemografi, paleoekologi, paleobotani, paleozoologi, arkeometri, arkeoastronomi, arkeoastrologi, dan berbagai studi lain yang memakai istilah “paleo” dan “arkeo”.

Studi perbatasan sangat bermanfaat untuk menganalisis temuan-temuan kuno yang tidak dapat ditangani oleh disiplin arkeologi. Sebagai contoh, dengan menganalisis tepung sari, gigi hewan, dan tulang hewan yang dilakukan para paleobiolog, maka para arkeolog dapat menggambarkan jenis flora dan fauna yang pernah ada di suatu situs. Di mancanegara studi perbatasan digambarkan dalam sejumlah karya ilmiah, seperti Birds Remains in Archaeology, Energy and Ecology, dan Petrological Examination (Moendardjito, 1981).


Noneksakta

Dibandingkan arkeolog-arkeolog negara maju, terdapat kecenderungan arkeolog-arkeolog Indonesia masih enggan membaca atau menelaah karangan-karangan bernuansa eksakta. Hal ini mungkin disebabkan para arkeolog itu tidak atau kurang sekali memiliki pengetahuan ilmu-ilmu eksakta. Mungkin pula latar belakang mereka di sekolah adalah Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Budaya (Sosbud), bukan Ilmu Pengetahuan Alam (Paspal).

Memang ada usaha dari beberapa kalangan tertentu untuk membantu lapangan studi arkeologi yang perlu digarap dengan ilmu-ilmu keras, misalnya LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) dan Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). Namun jumlahnya belum cukup banyak dan belum meliputi aspek-aspek yang perlu diprioritaskan dalam peningkatan pengembangan arkeologi.

Ketertinggalan arkeolog-arkeolog Indonesia tampaknya sudah semakin jauh. Karena itu perlu upaya untuk meningkatkan keterampilan mereka, terutama yang berkecimpung di bidang penelitian. Dunia iptek semakin maju, arkeolog pun semestinya membekali diri dengan pengetahuan eksakta.

Penulis adalah arkeolog,
tinggal di Jakarta.

(Sumber: Sinar Harapan, Senin, 26 Maret 2007)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik