Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Jumat, 10 April 2009

Arsitektur Tua Tionghoa: Citra Pecinan di Jakarta

Views


Jakarta - Etnis Tionghoa menyisakan banyak peninggalan budaya di Indonesia, bukan hanya berupa makanan yang kini bisa ditemui di restoran mewah sampai di pinggir jalan, atau batik yang motif dan warnanya memperkaya batik Indonesia, tetapi juga arsitektur.

Di masa lalu, Belanda dan Tionghoa bekerja sama membangun Kota Batavia yang kini bernama Jakarta. Mona Lohanda, dosen sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, memberi contoh kastil (benteng) Batavia pada masa pemerintahan JP Coen (1619-1629), yang merupakan hasil kerja sama itu.

“Kontraktor”-nya berasal dari etnis Tionghoa. Ia mengatur segala keperluan pembangunan dari bahan bangunan sampai tenaga kerja. Ketika itu, Kapiten Tionghoa adalah Souw Beng Kong yang juga Kapiten Tionghoa pertama di Hindia. “Souw Beng Kong yang membawa orang Tionghoa dari Banten ke Batavia. Pertama-tama hanya 200 orang dengan menggunakan jukung (kapal). Di Batavia mereka tidak hanya berdagang, tapi juga menjadi tenaga-tenaga yang diperlukan untuk membangun kota,” kata Mona dalam diskusi “Usaha Pelestarian Bangunan dan Kuburan Tua Cina” di Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (29/1).

Maka, jangan heran jika peninggalan bangunan Tionghoa di Jakarta ini sangat banyak, terutama di daerah cikal bakal Kota Batavia di utara dan barat Jakarta, dari Glodok hingga Beos. Apa yang tersisa kini? Bangunan-bangunan peninggalan Tionghoa dari masa pendudukan Belanda itu terancam oleh pembangunan. Makam Souw Beng Kong, Kapiten Tionghoa pertama itu, baru diperhatikan di tahun 2000-an ini.

Sebelumnya, makam itu teronggok saja di sebuah gang sempit bernama Gang Souw Beng Kong atau So Bing Kong yang kini bernama Gang Taruna, Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat. Sekitar 200 meter dari makam itu, ada pusat perbelanjaan modern Mangga Dua. Pada tahun 2002-2005, makam itu dikelilingi bangunan kumuh. Di atas makam itu ada sebuah bangunan menyerupai rumah yang sempat ditinggali warga. Makam itu pertama kali dipugar pada tahun 1909 oleh Kong Kuan (Dewan Perwakilan Tionghoa), lalu kembali dipugar pada tahun 1929, juga oleh Kong Kuan, dan terakhir pada April 2006. Menurut para tetangga, di sekitar makam itu masih ada altar yang jika digali ada tulisan. Namun, belum ada yang mencoba menggali altar tersebut.


Kelestarian Budaya

Bangunan yang juga menyedihkan adalah Candranaya di Jalan Gajah Mada, Jakarta. Bangunan yang disebut juga dengan Sin Ming Hui ini dahulu milik keluarga Khow sampai dengan tahun 1946. Khow Ten Seck, pemilik pertama rumah itu, adalah pemilik ladang padi terbesar di Batavia dan Tangerang. Rumah itu diwariskan kepada keturunannya yang beberapa di antaranya punya kedudukan penting bagi pemerintah Hindia, antara lain Khouw You Kee yang seorang Ketua Dewan Penasihat China di Batavia pada akhir abad ke-19 dan Khouw Kim An yang anggota Volksraad (Dewan Rakyat) tahun 1921-1931 yang juga memiliki kedudukan penting di Dewan Penasihat China sampai ketika Jepang masuk.

Ketika bangunan yang mirip kelenteng itu dijual kepada salah satu pengembang, Candranaya hendak diubah menjadi gedung perkantoran bertingkat, seperti gedung-gedung di sekitarnya. “Candranaya adalah pertarungan antara kelestarian budaya dengan kekuatan uang, heboh sepeti Trowulan yang dirusak oleh arsitek. Padahal ini sangat besar, megah, dan tingal satu-satunya” kata Djauhari Sumintardja, peneliti arsitektur peninggalan etnis Tionghoa yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu.

Menurut Djauhari, Jakarta punya potensi besar untuk menjadi pecinan terbesar di dunia. “Jakarta punya Pecinan yang lebih besar daripada Singapura. Namun, Singapura yang lebih sedikit itu bisa menarik turis jutaan orang setiap tahunnya karena pecinan. Apakah sense of belonging terhadap sejarah itu masih ada?”

Djauhari tidak menyalahkan pembangunan, tetapi pembangunan itu selayaknya ramah terhadap bangunan-bangunan tua itu. Di Glodok atau Pasar Pagi bukan contoh pembangunan yang ramah itu. Di Pasar Pagi, ada sebuah rumah dokter gigi yang masih bertahan dengan bangunannya, tetapi dikelilingi oleh kios-kios pasar yang membuat rumah itu tidak dapat terlihat keindahannya. Jika masuk ke dalam rumah, barulah keindahan itu terasa. “Sebetulnya bangunan-bangunan seperti itu bisa menjadi jewels untuk sebuah kota, makanya harus dilindungi,” kata Djauhari.

Contoh baik yang disebutkan Djauhari adalah di Jalan Perniagaan 3, Jakarta Barat. “Itu kantor notaris, bangunan empat lantai yang panjangnya lima atau enam meter, tetapi rombakannya masih memasukkan unsur arsitektur pecinan. Namun, kalau rombakannya sudah bergaya modern, apakah masih bisa melanjutkan citra pecinan di Jakarta?” (mila novita)

(Sinar Harapan, Selasa, 3 Februari 2009)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik