Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Senin, 16 Februari 2009

Monumen di Jakarta Kini Kesepian

Views

Oleh: Romauli

JAKARTA – Nasib monumen di Jakarta kian merana. Bangunan itu dibangun hanya untuk peresmian sebuah event atau peringatan kejadian bersejarah. Setelah itu: dilupakan bahkan dibiarkan kesepian di belantara Ibu Kota.

Huruf-huruf di Tugu Monumen Kesetiakawanan Sosial Nasional di Senen Jakarta Pusat sudah tidak jelas lagi. Sebagian di antaranya hilang entah ke mana. Sementara yang tertinggal tetap terpatri, tapi bentuknya sudah tidak beraturan ada yang miring. Lingkungan di sekitarnya pun tidak kalah buruk seperti huruf-huruf tersebut.

Bau pesing menyeruak saat mendaki undakan tangga ke atas tugu. Lantai di sekitarnya pecah-pecah, kotor oleh tumpahan kopi, sisa lumpur dan sampah. Pilar-pilar juga sama buruknya karena dicoret-coret.

Luasnya kawasan Tugu Monumen Kesetiakawanan Sosial Nasional dimanfaatkan bermain bola kaki.

Pada siang yang panas itu Slamet (60), pemulung yang sehari-harinya mencari kaleng dan plastik bekas di kawasan Senen dan Kemayoran, berteduh di bawah pilar. Tidak hanya Slamet yang ada di sana. Di sampingnya ada Dani (40), seorang tukang kopi keliling ikut duduk di samping Slamet. “Saya sedang berteduh saja, barusan keliling mencari barang bekas,” kata pria bertubuh ringkih ini pelan.

Tidak lama-lama dia di sana, apalagi berniat tidur. Sebab sewaktu-waktu Satuan Polisi Pamong Praja bisa menangkapi mereka yang sedang menggembel di sekitar Tugu Monumen Kesetiakawanan Sosial ini. Jika lama-lama mangkal di sana, kata Slamet, bisa-bisa dirinya akan kembali dikirim ke Panti Sosial Kedoya dan disuruh pulang ke kampung halamannya di Surabaya. “Saya tidak pernah tidur di sekitar tugu ini karena takut ditangkap Tramtib,” katanya.

Suasana ramai dan hiruk pikuk kendaraan ini jauh berbeda dengan kondisi Monumen Pembebasan Irian Barat di Jalan Lapangan Banteng. Di tempat yang dikelilingi taman ini ada sekitar tiga orang joging mengelilingi taman berlantai ubin itu.

Erwin (40), penjaga Monumen Irian Barat, mengaku kawasan ini dulu sempat menjadi tempat hunian gelandangan di malam hari terutama pada bagian bawah bekas ruangan yang pernah menjadi loket tiket bus saat kawasan ini menjadi terminal dan bagian jembatan.

Tangan-tangan usil menyebabkan beberapa tiangnya hancur dan di sudut-sudut pilar dijadikan tempat buang kencing karena masih menyisakan pesing.

Blak-blakan, pria yang bermukim di bilangan Bekasi ini mengaku, kawasan Monumen Irian Barat ini kerap dijadikan ajang pertemuan kaum homo. “Tapi, sejak dua bulan terakhir, kawasan ini sudah jarang didatangi gelandangan,” katanya. Sebab, ruangan paling bawah telah disekat dengan rolling door terali.

Ruangan jembatan atau tour centre yang dulu terbuka kini dikelilingi kaca-kaca besar tembus pandang. Rencananya ruangan ini akan dimanfaatkan sebagai ruang VIP tamu atau pejabat yang datang ke dalam lingkungan monumen. Sebanyak 15 sofa berukir kayu lengkap dengan meja mengkilat tersusun di tengah ruangan. Lampu-lampu hias menempel di dinding, sebuah televisi dan air conditioner yang saat ini tidak berfungsi karena rusak juga sudah ada.

Dulu, ide pembuatan Monumen Pembebasan Irian Barat tercetus dari pidato Bung Karno di Yogyakarta yang diterjemahkan Henk Ngantung dalam bentuk sketsa. Pidato Bung Karno itu menggerakkan massa untuk bertekad membebaskan saudara-saudaranya di Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dari belenggu penjajahan Belanda.

Patung ini terbuat dari bahan perunggu dengan tinggi dari kaki hingga kepala 9 meter, sementara tinggi kaki patung (vootstuk) 20 meter dari jembatan serta 25 meter dari landasan bawah.

Berat patung 8 ton. Pelaksana pembuat patung adalah PN Hutama Karya, arsitek Silaban, pelaksana pematung oleh keluarga Arca Yogyakarta di bawah pimpinan Edhi Sunarso yang dibuat selama satu tahun dan diresmikan Bung Karno pada 17 Agustus 1963.

Penempatannya di Lapangan Banteng karena tempat tersebut dianggap luas, strategis dan memenuhi persyaratan untuk sebuah monumen setinggi hampir mencapai 30 meter.

Apalagi dulu, Lapangan Banteng merupakan pintu gerbang tamu-tamu yang datang dari lapangan terbang Kemayoran sehingga memberikan kesan baik bagi para pengunjung dan warga Jakarta.

Menurut Erwin, ada beberapa perubahan yang terjadi di bagian jembatan monumen ini untuk mencegah kedatangan gelandangan. Setahunya perubahan-perubahan ini tidak didanai pemerintah. Dikatakan petugas lapangan di PT Dharma Bakti Negara ini semua fasilitas dan perubahan yang ada pada Monumen Pembebasan Irian Barat itu dibiayai perusahaannya. “Setahu saya, pemerintah hanya mengurusi taman di sekeliling monumen ini saja,” katanya.


Patung Chairil Anwar

Buruknya perhatian pemerintah terhadap tugu peringatan sejarah juga terlihat pada patung penyair Chairil Anwar di lingkungan Monumen Nasional (Monas). Patung yang hanya menampilkan bagian kepalanya ini tampak sendiri di ujung utara Monas. Bait-bait puisi Kerawang - Bekasi yang diukir di atas keramik abu-abu di bawah patung bergaya Torso ini sudah pudar tidak jelas terbaca.

Dodo, penjaga parkir di lingkungan taman Monas, menuturkan, tidak terawatnya patung ini sudah lama diketahuinya. Tapi, belum ada tindakan pemerintah mengecat ulang dan mengembalikan warna tulisan pada patung yang diresmikan Gubernur Jakarta R Soeprapto 21 Maret 1986.

Chairil Anwar merupakan seorang pelopor kesusastraan angkatan '45. Ia lahir di Medan pada tanggal 26 Juli 1922.

Karya sastranya yang terkenal adalah Kerawang Bekasi menceritakan semangat perjuangan rakyat Indonesia masih terukir di sudut utara Monas. Ada juga karya yang cukup terkenal Doa mengungkapkan tentang kebesaran Tuhan.

Patung Chairil Anwar ini terbuat dari bahan perunggu dengan ukuran dua setengah kali ukuran asli manusia. Patung ini dibuat oleh pematung Arsono dari studio Arstupa dan pengecoran perunggu dilakukan di Yogyakarta oleh pematung Gardini. Dudukan patung dibuat horizontal agar dapat mengimbangi bentuk Tugu Monas yang vertikal. Struktur monumen ini dipecah menjadi tiga bagian dan berbeda ukurannya untuk memberi kesan monumental dan puitis. Tapi sayang, bait-bait puisinya kini sudah pudar tak jelas terbaca.

(Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 24 Januari 2008)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik