Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Minggu, 15 Maret 2009

Melacak Jejak Nenek Moyang di “Jurassic Park” Sangiran

Views


Oleh: SU Herdjoko


SRAGEN -Benarkah teori Darwin bahwa manusia merupakan hasil evolusi dari kera? Konon, ada mata rantai yang hilang dari proses evolusi ini. Di manakah hilangnya? Lalu manusia Indonesia itu berasal dari mana?

Melacak jejak kehidupan nenek moyang kita sebenarnya tidak perlu jauh-jauh. Silakan datang ke Sangiran. Di kawasan seluas 56 kilometer persegi itu banyak ditemukan aneka fosil, mulai dari tulang-belulang manusia purba, binatang purba, tumbuhan, sampai dengan bebatuan.

Nah, di sana para pengunjung situs Sangiran tidak perlu ikut-ikutan mencari-cari puing fosil itu bersama penduduk dan arkeolog. Pengunjung bisa menyaksikan hasil temuan para penduduk setempat dan para peneliti di kotak-kotak kaca (vitrin) yang berada di Museum Sangiran atau bernama lengkap Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran.

Belasan wisatawan asal Yogyakarta, misalnya, dengan antusias mengamati setiap vitrin yang di dalamnya tersimpan aneka fosil itu. Ada fosil-fosil tengkorak manusia, tengkorak Pithecanthropus VIII sebagai fosil tengkorak terlengkap hingga saat ini, yang pernah ditemukan di Indonesia yang berusia sekitar 700.000 tahun. Ada juga fosil tengkorak Homo sapien yang berusia 40.000 tahun.

Ada fosil moluska, seperti kerang, dan fosil binatang air, seperti ikan, kura-kura, kepiting, buaya, fosil kayu, fosil kuda nil (Hippopotamus sp) berupa rahang bawah, rahang atas, dan tulang kering. Kemudian ada pula fosil alat-alat batu mirip kapak ataupun pisau,fosil bebatuan dari situs Sangiran, fosil tengkorak kerbau, gajah purba (hidup 1,2 juta–500.000 tahun lalu), fosil binatang bertanduk, fosil rusa, fosil harimau, babi, dan badak. Pengunjung bisa mengetahui sejarah fosil itu dari keterangan yang tertulis di dalam vitrin tersebut.

“Saya tidak menyangka bila justu di dekat kita sejarah manusia bisa kita temukan. Waktu di SMP saya memang mendapat pelajaran sejarah manusia purba itu. Namun baru kali ini melihat sendiri seperti apa bentuk tengkorak manusia purba itu. Dan ternyata ditemukan di Sangiran,” kata Yuliana Astuti, salah satu pengunjung.

Dewiyanti, yang datang bersama Yuliana mengaku, ia baru pertama kali ke Sangiran. Sebenarnya ia tidak tertarik ke lokasi wisata ini karena ia menganggap tidak menawarkan pemandangan ataupun keindahan apa-apa. Namun setelah datang, ternyata saya mendapatkan pengetahuan baru. Ya tentang fosil itu. Saya jadi teringat film Jurassic Park. Berarti, dulu di Sangiran ini hidup aneka binatang yang besar-besar, bahkan ada manusia purba segala. Seram juga,” tuturnya.

Pemandu wisata arkeolog Anjarwati Sri Sayekti, lulusan Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogakarta, menjelaskan bahwa temuan fosil alat-alat batu itu menunjukkan bahwa manusia memang kreatif. “Itu berbeda dengan binatang yang hanya bisa memakai alat. Manusia mampu menciptakan alat untuk memudahkan kerja dalam kehidupan mereka,” tuturnya.

Sangiran sebenarnya nama dari dua pedukuhan kecil di perbatasan Kabupaaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Dua pedukuhan itu dibelah oleh Kali Cemoro yang mengalir menuju Bengawan Solo.

Kelebihan Situs Sangiran dibandingkan situs lainnya adalah sebaran temuan fosil purba itu menyebar di areal seluas 56 kilometer persegi. Kawasan ini dianggap memiliki masa hunian manusia purba yang paling lama dibandingkan dengan situs lain di dunia, yakni selama satu juta tahun. Jumlah temuan fosil manusia purba juga melimpah, yaitu sekitar 50 persen populasi homo erectus (manusia kera berjalan tegak). Wajar saja, bila Situs Sangiran akhirnya menjadi ajang penelitian dan studi evolusi manusia purba oleh para ahli dari berbagai belahan dunia hingga saat ini.


Manusia Kera

Sangiran mulai diperhatikan ilmuwan pada tahun 1893 ketika Eugene Dubois datang ke sana untuk mencari fosil nenek moyang manusia. Sayangnya, ia tidak serius meneliti Sangiran. Ia justru mengeluyur ke Trinil, Ngawi, Jawa Timur. Ia menemukan fosil tengkorak dan tulang paha manusia purba. Fosil itu dinamakan Pithecanthropus erectus yang berarti manusia kera berjalan tegak.

JC van Es meneruskan meneliti di Sangiran tahun 1930. Kegiatannya dilanjutkan GHR von Koenigswald. Tahun 1934 Koenigswald menemukan sekitar 1.000 alat batu buatan manusia yang hidup di Sangiran. Alat-alat itu berguna untuk memotong, melancipi tombak kayu, ataupun menyerut yang disebut sebagai alat serpih. Koenigswald menyebut sebagai Sangiran Flake Industry.

Pada tahun 1936 von Koenigswald menemukan fosil rahang manusia purba berukuran besar yang disebut Meganthropus paleojavanicus. Lalu tahun 1937, ia menemukan fosil yang dicari-cari Dubois, yaitu Pithecanthropus erectus berupa tulang tengkorak. Ia menamakan fosil itu Pithecanthropus erectus II.

Prestasi temuan von Koenigswald itu membuat iri ilmuwan lainnya. Mereka beramai-ramai mendatangi Sangiran untuk melakukan penelitian. Beberapa di antara mereka seperti Helmut de Terra, Movius, P Marks, HR van Heekeren, Gert Jan Bartstra, RW van Bemmelen, Anne Marie Semah, Francois Semah, M Itihara, dan ilmuwan lainnya.

Tidak ketinggalan pula adalah ilmuwan Indonesia, seperti RP Soejono, Teuku Yacob (baru saja meninggal dunia, mantan rektor Universitas Gadjah Mada), S Sartono, Hari Widianto, dan lainnya. Fosil pun makin banyak ditemukan.

Beberapa lembaga penelitian dari dalam dan luar negeri juga terlibat dalam mengungkap tabir Sangiran. Beberapa di antara mereka adalah The American Museum of National History, the Biologisch Archeolosgisch Instituut Groningen, Netherlands; Tokyo University, National d’Historie Naturelle Paris, Padova University, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Yogyakarta, dan lembaga-lembaga penelitian lainnya.


Museum Sangiran

Koenigswald juga yang menjadi pemicu pendirian Museum Sangiran. Semula, ia meminta Lurah Desa Krikilan Toto Marsono untuk ikut membantu mencari fosil. Lurah ini segera mengerahkan warga desa untuk mencari “balung buta” (tulang raksasa)–ya fosil itu. Tulang-belulang besar itu dikumpulkan di pendopo Desa Krikilan untuk bahan penelitian Koenigswald dan para ilmuwan lainnya.

Meskipun Konigswald kemudian tidak aktif lagi meneliti, Toto Marsono dan warganya tetap mengumpulkan fosil. Dari pendopo Desa Krikilan itulah sebenarnya cikal bakal Museum Sangiran dimulai.

Pemerintah Provinsi Jawa Tengah baru membangun meseum pada tahun 1974 di Desa Krikilan. Lalu kawasan cagar budaya di sisi selatan pada tahun 1977 juga dibangun museum. Baru tahun 1983 pemerintah pusat membangun museum lebih besar di Desa Krikilan. Semua fosil kemudian dikumpulkan menjadi satu. Tahun 1998 Dinas Pariwisata Jawa Tengah melengkapi Kompleks Museum Sangiran dengan bangunan audio visual, dan pada tahun 2004 Bupati Sragen mengubah ruang kantor dan pertemuan menjadi ruang pameran tambahan.

Pada tahun 1977, pemerintah menetapkan kawasan Sangiran dan sekitarnya seluas 56 kilometer persegi sebagai Daerah Cagar Budaya. Lalu pada tanggal 25 Juni 1995, situs Sangiran dinominasikan ke UNESCO agar tercatat sebagai salah satu warisan dunia. Baru pada 5 Desember 1996 UNESCO menetapkan Sangiran sebagai Warisan Budaya Dunia dan tercatat dalam World Heritage List nomor 593 dengan nama Sangiran Early Man Site.

Temuan fosil terbaru di Sangiran terjadi pada akhir April lalu berupa fosil kepala gajah purba atau Stegodon trigonocephalus terdiri dari pangkal gading, rahang atas (maksila), batok tengkorak (cranium), dan dua tulang rusuk.

(Sumber: Sinar Harapan, Kamis, 1 November 2007)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik