Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Jumat, 06 Maret 2009

Perahu, Kendaraan Roh ke Dunia Arwah

Views


Oleh: Djulianto Susantio

Penemuan perahu kuno buatan abad ke-17 di Sungai Bengawan Solo beberapa waktu lalu (SH, 8/10) setidaknya memberi gambaran bahwa sejak lama Indonesia merupakan salah satu “negara perahu” tersohor. Menurut data sejarah, sejak ribuan tahun yang lalu memang nenek moyang kita sudah berprofesi sebagai pelaut.

Mereka dengan gagah berani mengarungi samudera luas. Bukan hanya di wilayah Indonesia, mereka sudah menyeberang ke Asia Tenggara, Pasifik, bahkan jauh sekali hingga Madagaskar di benua Afrika. Mereka berlayar untuk berbagai keperluan, terutama berdagang dalam taraf yang paling primitif.

Kemungkinan besar, perahu nenek moyang kita yang paling awal terbuat dari bambu. Di Indonesia, bambu sangat mudah diperoleh karena bambu dapat tumbuh di mana-mana, baik di daerah berhawa sejuk maupun daerah berudara panas.

Dengan merangkaikan bambu-bambu itu, kemudian diikat dengan tali, jadilah perahu yang amat sederhana. Pada masa sekarang perahu demikian biasa disebut rakit atau getek. Bentuknya polos, tanpa kemudi dan tanpa layar. Oleh karena itu, rakit hanya efektif untuk pelayaran jalur pendek lewat sungai.

Mungkin juga, perahu pertama terbuat dari beberapa batang pohon pisang (gedebong) yang digabung menjadi satu. Bambu dan gedebong merupakan bahan yang ringan dan mudah mengambang di air. Rakit dari kedua bahan itu masih digunakan oleh penduduk daerah pedalaman yang terisolasi jalan darat sampai sekarang.

Sesuai dengan kondisi geografis, di tempat lain perahu paling awal diduga terbuat dari sebatang pohon besar yang bagian tengahnya dilubangi, mirip lesung atau sampan. Perahu seperti inilah yang paling populer sebagaimana terlihat pada lukisan-lukisan goa prasejarah, yakni masa sebelum dikenalnya sumber tertulis, di Sulawesi dan Papua.

Bentuk sampan kemudian berkembang. Sebagai pengganti tenaga manusia untuk mendayung, digunakan layar yang menggunakan tenaga angin. Bentuk layar yang umum dikenal adalah segitiga dan segiempat. Bahan dasar pembuatan layar mungkin sejenis tikar pandan, tumbuh-tumbuhan yang dianyam, kulit kayu, atau kulit binatang yang disambung-sambung.

Bukti adanya perahu yang lebih bagus diperlihatkan oleh sejumlah relief Candi Borobudur. Sebelum abad kesembilan, nenek moyang kita telah mengenal sekurang-kurangnya tiga jenis perahu, yakni perahu lesung, perahu besar yang tidak bercadik, dan perahu bercadik.

Perahu tertua dan perlengkapannya pernah ditemukan di situs kerajaan Sriwijaya bertarikh abad VII-XIV. Itulah perahu kayu yang dianggap tertua hingga kini.

Sebagai negara yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan kebudayaan, di Indonesia banyak sekali terdapat jenis perahu sesuai tradisi lokal, apalagi negara kita disebut negara kepulauan dan negara bahari yang 70 persen dari bagiannya berupa perairan.


Prasejarah

Pada zaman prasejarah perahu banyak dipuja oleh berbagai suku bangsa. Mereka yang bertempat tinggal dekat air, misalnya di tepi sungai atau laut, menganggap perahu merupakan suatu benda yang sangat berarti dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut pakar prasejarah Prof. R.P. Soejono, dulu pun timbul kepercayaan bahwa bila manusia meninggal, arwahnya akan diantar oleh perahu ke suatu pulau di seberang lautan. Di sanalah nantinya arwah akan bertempat tinggal. Karena itu, peti mayat bangsa pelaut tersebut dibuat menyerupai bentuk perahu. Sebuah perahu tiruan disertakan pada mayat yang dikubur dalam peti tersebut. Tradisi seperti ini dulu banyak dijumpai di kepulauan Tanimbar, Babar, Leti, Suku Dayak Ngaju, Toraja, Sumba, dan Pulau Roti.

Perahu sebagai kendaraan roh ke dunia arwah itu dilukiskan pada masa paleometalik atau logam awal. Perahu juga banyak terdapat pada pola hias nekara, yaitu bejana besar terbuat dari logam perunggu.

Pada masa selanjutnya, pola hias perahu memengaruhi kain batik, kain tenun tradisional, dan ornamen peninggalan budaya lainnya. Dalam filosofi Islam, menurut Prof. Dr. Hasan M. Ambary, pakar arkeologi Islam, perahu diibaratkan kendaraan untuk menuju tempat yang abadi.

Tidak heran bila seorang sastrawan Aceh terkenal pada masa dulu, Hamzah Fansuri, pernah menulis sebuah karya berjudul Syair Perahu yang begitu melegenda.

Berkat perahu, pengetahuan tentang kemaritiman semakin maju serta dunia semakin terbuka dan dekat, bahkan berperang. Sayangnya, koleksi-koleksi perahu kita hanya sedikit terdapat di Museum Bahari Jakarta dan Museum La Galigo Makasar.

Mudah-mudahan nantinya koleksi museum-museum kita akan bertambah lengkap, sehingga kita bisa menyaksikan jenis-jenis perahu yang dibuat berbagai suku bangsa di Indonesia. Cukup berupa miniatur perahu, model, atau replikanya agar tidak memakan tempat.

(Referensi: Museum Bahari dan Ensiklopedia Indonesia)
Penulis adalah arkeolog
dan penulis lepas


(Sumber: Sinar Harapan, 11 Januari 2006)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik