Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Jumat, 06 Maret 2009

Preman dan Judi pada Zaman Mataram Hindu

Views


Oleh: Djulianto Susantio

Akhir-akhir ini pemberantasan perjudian sedang digalakkan oleh pihak berwenang, begitu pula razia premanisme dan pelacuran. Judi, premanisme, dan pelacuran ternyata merupakan sumber penyebab kejahatan atau tindak kriminal sejak zaman dulu kala.

Menurut informasi yang diperoleh dari prasasti-prasasti abad VIII hingga XI, pada zaman dulu untuk mengurangi kejahatan itu aparat keamanan selalu bekerja sama dengan tuha judi atau juru judi (pengawas perjudian) dan juru jalir (pengawas pelacuran).

Sayangnya juru judi dan juru jalir hanya disebutkan sepintas bersama petugas-petugas kerajaan yang lebih berperan dalam masyarakat, seperti petugas pajak dan petugas pengadilan, sehingga kita tidak mengetahui pasti apa peran juru judi dan juru jalir ketika itu.

Uniknya, sebutan juru judi dan juru jalir hanya terdapat pada prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Jawa Timur. Belum ada satu pun prasasti di luar Jawa Timur yang menyinggung kedua istilah itu.

Sumber-sumber kuno yang mengungkapkan juru judi dan juru jalir itu adalah Prasasti-prasasti Kuti (840 M), Kancana (860 M), Waharu I (873 M), Barsahan (908 M), Kaladi (909 M), Sugih Manek (915 M), Sangguran (928 M), Cane (1021 M), dan Hantang (1135 M). Menurut sumber-sumber itu pembegalan, perjudian, pelacuran, mabuk-mabukan, dan sejenisnya merupakan salah satu gaya premanisme.

Guna mengantisipasi tindakan-tindakan negatif itu, pihak penguasa menyusun kitab undang-undang hukum pidana. Yang paling dikenal adalah Kitab Kutara-Manawadharmasastra yang menjadi dasar Perundang-undangan Majapahit.

Penerapan kedua kitab itu pada masa kemudian boleh dibilang berhasil gemilang berkat kecakapan para pelaksananya, yakni Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada. Keduanya mampu mengangkat Majapahit sebagai negara tenteram dan makmur hingga puluhan tahun lamanya.


Pembegalan

Tindak kriminal yang paling banyak diungkapkan prasasti, terutama dari zaman Mataram Hindu, adalah pembegalan dan pembunuhan. Yang relatif panjang lebar disebutkan dalam Prasasti Balingawan (891 M), seperti be-rikut: Selama beberapa waktu rakyat desa Balingawan selalu merasa resah karena terlalu sering membayar denda atas rah kasawur dan wanke kabunan.

Rah kasawur adalah perkelahian berdarah, sementara wanke kabunan adalah mayat yang terkena embun. Maksudnya suatu pembunuhan yang terjadi di malam hari kemudian mayatnya dibuang sehingga terkena embun di pagi hari, namun pelaku perkelahian dan pembunuhan itu tidak diketahui.

Berbagai jenis kejahatan umumnya terdapat dalam bagian prasasti yang disebut sukhaduhkha, kira-kira berarti segala perbuatan yang buruk dan yang baik dalam masyarakat. Misalnya wakcapala (memaki orang lain), hastacapala (baku hantam), mamuk (mengamuk membabi buta), dan amungpang (merampas, merampok, memerkosa).

Adanya kasus pembegalan juga dapat ditafsirkan dari Prasasti Mantyasih (907 M). Karena itu Rakai Watukura Dyah Balitung memberikan anugerah sima (tanah yang dicagarkan) kepada lima orang patih di Mantyasih secara bergantian.

Mereka dinilai berjasa karena telah memenuhi permintaan rakyat desa Kuning untuk menjaga keamanan di jalanan. Sejak adanya mereka, rakyat di desa Kuning merasa tidak ketakutan lagi.

Di kerajaan Mataram Hindu bahkan pernah ada sekelompok orang yang sering mengganggu keamanan (samahala). Prasasti Rukam (907 M) menyebut demikian, “...Seluruh petani Desa Rukam memohon perlindungan kepada bhatara di Limwung terhadap orang-orang yang semula sering mengganggu keamanan daerah itu...” (Titi Surti Nastiti dkk, 1982).

Bentuk kejahatan lain diinformasikan Prasasti Kamalagyan (1037 M). Mungkin ini sabotase gaya kuno. “...Ada sekelompok orang hendak menghancurkan bendungan yang baru saja selesai dibangun, padahal pembangunan waduk itu dilakukan dengan swadaya masyarakat dan campur tangan raja...,” demikian cuplikannya.

Kasus pencurian pernah dikemukakan Prasasti Wulig (934 M) dan Baru (1030 M), yakni tentang pencurian ikan di bendungan dan pencurian tanaman di kebun. Sampai sejauh ini prasasti belum menyebutkan besarnya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan. Hanya secara sepintas Prasasti Wuatantija (880 M) mengatakan mereka dikenakan denda berupa ...mas ma 8 muang wuru wuruan 2 i satahun....

Beberapa prasasti seperti Waharu II (929 M) menyebutkan hukuman berupa kutukan. Pelanggar kejahatan disumpahin agar kakinya terantuk ranjau busuk, mati busung (perut membesar), menemui lima kesengsaraan (pancamahapataka), menderita sakit ayan (epilepsi), dan mendapat malu.

Kutukan dan sumpah juga dikeluarkan Prasasti Wukayana (angka tahunnya sudah rusak). Barang siapa berani mengusik sima di Wukayana, ibarat kepala ayam yang telah putus dari badannya dan tak akan kembali lagi.

Soal kesadaran hukum, orang dulu pantas ditiru. Mereka tidak main hakim sendiri seperti pada zaman sekarang. Para penjahat harus dihadapkan ke sidang pengadilan, itu aturannya.

Penerapan kitab hukum pada zaman dulu sangat ketat. Ini dapat dilihat ketika Ratu Sima memotong kaki sang anak karena dia telah melanggar undang-undang kerajaan. Meskipun para menteri sudah meminta keringanan hukuman, tetap saja Ratu Sima bergeming dengan keputusannya itu.

Kita yang hidup di masa kini, sudah seharusnya mempunyai undang-undang yang keras macam di Majapahit dan penguasa yang tidak pandang bulu seperti Ratu Sima.

(Sumber: Sinar Harapan, Rabu, 18 Januari 2006)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik