Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 17 Maret 2009

Dari Gigi Geledek Menjadi Arkeologi Publik

Views


JAKARTA – Awal abad 18, gigi geledek banyak dikenal orang Condet, berasal dari langit. Gigi geledek sering ditemukan dalam tanah lembek pinggir Sungai Ciliwung, usai hujan geledek mengguyur.

Bentuknya yang persegi, seperti batu yang diasah halus, berwarna kuning muda dan mengkilat seperti layaknya gigi, membuat orang kemudian mengira gigi dewa petir yang tanggal dan jatuh ke bumi. Anggapan itu yang kemudian membuat orang Condet percaya adanya beberapa kesaktian yang dimiliki gigi tersebut. Beberapa bahkan beranggapan khasiat gigi sebagai penyembuh penyakit.

“Bahkan ada yang mencelup beliung ini, sebagai penyembuh penyakit,” urai Ali Akbar, pemenang pertama Pemilihan Peneliti Muda Indonesia (PPMI) kategori Sosial dan Budaya, ketika ditemui sebelum penyerahan penghargaan di awal minggu keempat bulan November ini.

Lucunya kepercayaan ini terus berkembang selama dua abad setelahnya. Baru pada tahun 1922 penelitian dari Van Stein Callenfens, disusul Van der Hoop tahun 1941 dan Van Heekeren tahun 1955, membuktikan kalau benda yang dianggap sebagai gigi geledek merupakan benda buatan masa prasejarah yang dinamakan beliung persegi (Neolithic adze).

Penelitian mengenai beliung ini pun diteruskan, hingga paruh kedua abad ke-20. Terakhir dilanjutkan oleh Ali Akbar sendiri. Dalam perjalanan penelitiannya, pria yang juga dosen jurusan Arkeologi UI ini menemukan berbagai penambahan kelengkapan teori. Kesemuanya kemudian dituangkan dalam makalahnya yang berjudul “Mempopulerkan Pengetahuan Tentang Prasejarah Jakarta dan Sekitarnya Kepada Masyarakat: Suatu Pendekatan Arkeologi Publik”.

Untuk menambah perluasan pengetahuan yang didapat, laki-laki yang akrab dipanggil Abe ini memasukan pendekatan Three Dimensional Approach dan Settlement Archeology.

Melalui dua pendekatan tersebut, ia kemudian mampu menutup kelemahan aplikasi penelitian sebelumnya, yang dianggap terlalu artifact oriented. Kelemahan teori tersebut jelas hanya mengidentifikasi artefak berdasarkan bentuk. Sementara itu, sebuah kajian artefak sebenarnya bisa diluaskan, setelah Spaulding mengenalkan teori Three Dimensional Approach kisaran tahun 1971 lalu.

Dalam kajiannya, Spaulding meyakini suatu artefak memiliki tiga dimensi arkeologi, yakni bentuk, ruang dan waktu. Dengan pendekatan ini, menurut Abe, pengetahuan yang didapat dari satu artefak akan lebih lengkap. Mulai dari fungsi artefak, lokasi pembuatan dan teknik pembuatan dapat diraba pengetahuannya.

Sementara itu, Settlement Archeology diperkenalkan oleh Clarke tahun 1977, yang kemudian dibawa Mundardjito sekitar tahun 1990 lalu. Teori ini meyakini bahwa disatu tempat dimana artefak diperoleh, pasti ada sejumlah aktivitas pendukungnya, seperti aktifitas produksi, distribusi, konsumsi, religi, politik dan aktivitas lainnya.

Dengan tambahan dua pendekatan tersebut, tahun 2002 lalu, ia berhasil menelurkan tesis mengenai kehidupan masyarakat masa prasejarah Jakarta dan sekitarnya. Dengan temuan itu juga, ia menunjukkan bahwa situs permukiman prasejarah awalnya ditempatkan pada derah yang memiliki bahan baku untuk membuat artefak. Baru kemudian berubah setelah adanya tuntutan akses interaksi yang lebih mudah dengan daerah luar.

Satu kekurangan yang kemudian dirasakan oleh ayah beranak satu ini, merupakan kurangnya transfer pengetahuan mengenai hal ini kepada masyarakat luas. Banyak pula yang katanya tak pernah mengira ada temuan prasejarah di Jakarta. “Padahal teramat disayangkan bila penemuan artefak tersebut disalahgunakan, karena yang menemukannya tak tahu benda apa yang ditemukannya,” tambah Abe, yang ternyata juga anggota Mapala UI ini.

Menyadari hal itu, Abe kemudian merasa memerlukan suatu terobosan baru untuk mengubah hal ini, apalagi setelah memahami pendekatan arkeologi publik yang disebarluaskan oleh McGimsey kisaran tahun 1972 lalu. Definisi yang diberikan Gimsey kemudian mengukuhkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi arkeologi.

“Ingin lebih memudahkan masyarakat mengerti arkeologi,” selorohnya, tepat sebelum penyerahan hadiah. Konsep ini yang kemudian akan diusungnya dalam memasyarakatkan arkeologi.

Berbagai cara kemudian gencar dilakukannya, termasuk di dalamnya berusaha mengubah bahasa penelitian menjadi gaya populer agar lebih mudah dimengerti masyarakat.

Beberapa respons dari wawancara radio dan tayangan televisi tampaknya menunjukkan hal tersebut. Ternyata masyarakat masih merasa haus akan informasi mengenai arkeologi.

Segudang rencana kini berada di kepala pria berkacamata ini, mulai dari pembuatan museum alam di kawasan Depok, pembuatan penelitian lanjutan untuk desertasinya, penyelesaian proses film mengenai prasejarah di Jakarta, hingga perjalanan-perjalanan ke luar negeri untuk lebih memahami hal ini. Sebuah pandangan menarik dari generasi baru arkeolog negeri ini.
(sulung prasetyo)

(Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 1 Desember 2006)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik