Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 03 Maret 2009

Dulu, Aceh Surga Penelitian

Views


Oleh Djulianto Susantio

Aceh pernah menjadi kerajaan yang cemerlang, mulai disebut pedagang dan pengelana asing sejak abad XVI. Bangsa asing yang sering ke Aceh adalah Portugis, Belanda, Inggris, Italia, Prancis, China, Arab, dan India. Asal mula kerajaan Aceh sampai kini masih terselubung. Ada mitos orang Aceh keturunan Ismael dan Hagar (anak dan istri kedua Abraham, versi PerjanjianLama). Menurut Snouck Hurgronye, orang Aceh campuran orang Arab, Parsi, dan Turki.

Sejarah Melayu menceritakan seorang raja dari Campa, Syah Pu Liang (atau Ling) diusir bangsa Vietnam sekitar 1471. Ia berlindung di Aceh dan membentuk wangsa baru. Hikayat Aceh (lebih bersifat dongeng) mengisahkan Aceh muncul karena bersatunya dua permukiman: Makota Alam dan Dar ul-Kamal (Denys Lombard, Kerajaan Aceh).

Menurut ceritera, pendiri Aceh adalah Ali Mughayat Syah (Ali Mugayat Sah), sering diceritakan dalam kronik-kronik Aceh. Kapan ia naik takhta belum diketahui. Tapi dari makamnya diketahui ia wafat 7 Agustus 1530.

Menurut penjelajah Eropa, di sana tidak ada tembok benteng seperti di Eropa dan India. Yang ada hanyalah lapangan yang menyulitkan orang untuk mendarat dan masuk. Ini menjadikannya semacam pertahanan alamiah. Pada masa itu kekuasaan Aceh demikian besar. Banyak negara tetangga tunduk kepadanya. Tentara Aceh gesit dalam berperang. Alat transportasi yang paling diandalkan gajah terlatih.

Kota Aceh sangat luas, kata Nicolaus de Graaff (Belanda), kira-kira 2 mil (15 km2). Mil adalah ukuran yang dipakai di Jerman dan Belanda. Jumlah rumah, kata William Dampier (Inggris), 7.000 hingga 8.000 unit.

Raja Aceh yang terkenal adalah Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sultan ini banyak membangun masjid. Dampier melaporkan masjid di Aceh berciri khusus, berbeda dengan yang di Timur Tengah dan Turki. Pada abad XVII Aceh pernah memiliki seorang ulama besar, Abd ur-Rauf dari Singkel. Dia menulis sebuah karya agung Umdat al-Muhtajin.
Setelah meninggal, dia mendapat nama anumerta Teungku di Kuala atau Teungku Syiah Kuala, karena makamnya terletak dekat Sungai Aceh. Sekarang nama Syiah Kuala diabadikan sebagai nama perguruan tinggi terbesar di Aceh.


Penelitian

Valentijn mungkin merupakan orang pertama yang menaruh perhatian khusus pada sejarah Aceh. Namun yang banyak membahas tentang Aceh adalah William Marsden, yang membawa beberapa naskah Aceh ke Eropa sebagai acuan bukunya “History of Sumatra”. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Sejarah Sumatra” (1999). Sesudah itu muncul beberapa nama penulis Eropa lain, seperti E. Jacquet, Ed. Dulaurier, T. Braddell, J. Anderson, H.C. Millies, dan van Langen.

Selain kronik Aceh, para peneliti Barat banyak memakai kronik Melayu sebagai referensi. Namun isi kronik Melayu lebih mirip dongeng daripada fakta. Salah satu kronik Melayu yang dipandang bisa diandalkan sebagai sumber informasi sejarah adalah Bustan us-Salatin, karya Nuruddin ar-Raniri. Karya Raniri dianggap sebagai monografi lengkap tentang agama dan sejarah Aceh.

Selain penelitian sejarah dan filologi, para sarjana Barat juga melakukan penelitian arkeologi di sana, dimulai 1884 oleh J.P. Moquette, van Ronkel, dan sejumlah pakar lain. Objek yang diteliti umumnya masjid, nisan kuno berinskripsi, bangunan arkeologi Islam lain, dan bangunan dari masa kolonial.

Aceh termasuk salah satu daerah yang tidak mau tunduk kepada Belanda. Sulit bagi Belanda untuk menjinakkan Tanah Rencong. Dengan pahlawan-pahlawan besar seperti Teuku Umar dan Tjut Nyak Dien, Perang Aceh tercatat salah satu pertempuran paling lama (1873-1904).

Banyak peninggalan masa lampau tersebar di Aceh (tertulis dan tak tertulis). Sebagian peninggalan tertulis berupa dokumen dan naskah kuno, banyak diboyong ke Eropa. Saat ini sumber-sumber tersebut tersimpan di Belanda, Inggris, dan Prancis. Sedang peninggalan tak tertulis berupa benda-benda arkeologi, sebagian di antaranya telah rusak diterjang tsunami akhir 2004. Sebagian lagi (peninggalan tertulis), masih berada di Eropa.

Dulu, Aceh menjadi surga penelitian mengingat masa lampaunya cemerlang. Tapi banyak di antaranya rusak. Mudah-mudahan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh juga menyangkut warisan budayanya.

Penulis adalah arkeolog,
tinggal di Jakarta

(Sumber: Sinar Harapan, Jumat, 24 Maret 2006)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik