Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 03 Maret 2009

Dulu Subur dan Makmur, Kini...

Views


Oleh: Djulianto Susantio


Dulu bumi Nusantara kaya akan hasil bumi. Bandar utama berdiri di mana-mana. Masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai pelayar-pelayar ulung, sanggup mengarungi lautan lepas hingga mencapai Afrika Timur dan Madagaskar. Menurut sejarah, hubungan dagang internasional pertama kali dilakukan dengan India dan China pada abad V Masehi.

Perdagangan semakin maju sehingga bangsa asing banyak datang ke Indonesia. Mereka membeli barang dagangan dari Jawa, antara lain labu, kapuk, kayu gaharu, cempedak, kura-kura, gula, kapulaga, belerang, kain brokat, lada, kemukus, dan garam. Ketika itu, Jawa juga menjadi persinggahan bagi komoditi yang berasal dari luar Jawa, seperti kayu cendana, cengkeh, pala, kapur barus, emas, dan perak (Antoinette M. Barrett Jones, Early Tenth Century Java from the Inscriptions).

Itu menggambarkan tanah Indonesia subur. Rakyatnya pun hidup makmur. Orang Jawa sudah memiliki rumah besar dan bertembok. Kalau keluar rumah, mereka memakai baju dan perhiasan bagus, begitu tulis W.P. Groeneveldt dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya. Compiled from Chinese Sources.

Salah satu bukti arkeologi adanya perdagangan Indonesia-China adalah ditemukannya bangkai perahu di Fujian (China). Perahu itu memuat kargo berupa kayu gaharu, kayu cendana, kemenyan, lada, dan pinang sirih. Perahu tersebut diperkirakan berasal dari abad XIII (Lukas Partanda Koestoro, “Hasil Bumi dan Hasil Hutan, Komoditi dalam Sejarah dan Arkeologi Maritim Nusantara”).


Rebut Malaka

Perdagangan bukan hanya digeluti penduduk Jawa. Penduduk Sumatra juga sudah melibatkan diri dalam perdagangan. Produk unggulan mereka kemenyan dan kapur barus. Barang-barang itu dijual kepada pedagang Arab, Persia, dan China. Ketika bangsa Eropa menguasai lautan, perdagangan semakin menonjol. Terlebih ketika pada abad XV Portugis mulai menjelajahi pantai Barat Afrika untuk menemukan rute menuju “India”.

Berlandaskan kegiatan itu, Portugis merebut Malaka dan mendirikan benteng di Ternate. Tujuannya untuk memonopoli perdagangan Asia-Eropa. Komoditi yang berasal dari Nusantara adalah lada, kayu gaharu, rempah-rempah, dan hasil hutan. Barang-barang itu dijual ke Pegu, Benggala, Srilanka, Goa, Siam, Jepang, dan China.

Pengelana Portugis, Tome Pires, mengabarkan satu kuintal lada yang dibeli seharga 4 cruzados di Malaka, bisa dijual di China senilai 15-16 cruzados. Berkembangnya pelabuhan Malaka memberikan pengaruh besar kepada sejumlah bandar di pesisir utara Jawa. Dengan demikian menghasilkan pangsa pasar yang lebih luas atas produk cengkeh (dari Maluku), pala (Banda), kayu gaharu (Lombok), dan kayu cendana (Timor).

Bangsa Eropa lain kemudian kepincut kepada kekayaan Nusantara. Belanda dengan VOC-nya dan Inggris dengan EIC-nya mulai mengadakan hubungan dagang. Mereka banyak memerlukan lada dan rempah-rempah untuk menghadapi musim dingin. Menurut kitab Chu-fan-chi dari abad XIII, lada banyak didatangkan dari Sunda dan Tuban.

Sedangkan menurut Ying-yai Sheng-lan, lada diperoleh dari Sumatra. Lada banyak pula diperoleh dari wilayah Banten, terutama dari kluster Pamarican (daerah penghasil merica atau lada).


Bunga Pala

Lada komoditas sangat berharga. Abad XVI, sebagaimana dikutip Lukas, harga lada di China mencapai 400% dari harga belinya di Malaka. Kapulaga, komoditas lain yang diperdagangkan lewat bandar Kalah di Semenanjung Malaya. Komoditas yang paling dianggap luks di Eropa adalah pala. Karena transportasinya panjang, maka di Inggris saat itu harga setengah kilogram bunga pala setara dengan nilai tiga ekor biri-biri atau setengah harga lembu.

Komoditas lain yang disukai masyarakat Eropa adalah kemiri, keluwek (pucung), pinang sirih, cengkeh, kayu manis, cassia vera, jahe, kunyit, kayu gaharu, kayu cendana, dan damar, termasuk kemenyan.

Sesungguhnya, tak salah kalau orang mengistilahkan negara kita dengan Tanah Air. Selama berabad-abad Kerajaan Majapahit pernah menguasai tanah sebagai negara agraris. Selama berabad-abad pula Kerajaan Sriwijaya menguasai air sebagai negara maritim.

Kini kedigjayaan kita memudar. Dulu kita banyak mengekspor, kini mengimpor. Setelah krisis 1997, bangsa asing kembali menguasai negeri kita dalam bentuk “penjajahan ekonomi”. Kita banyak sumber daya alam, tapi tak mampu mengelolanya. Tambang emas, tembaga, minyak, dan gas bumi banyak. Karena kita tak mampu, maka asinglah penggarapnya. Sejarah berulang.

Penulis adalah arkeolog, tinggal di Jakarta

(Sumber: Sinar Harapan, Senin, 17 April 2006)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik