Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Selasa, 03 Maret 2009

Sengketa Pulau dan Metode Arkeologi

Views


Oleh: Djulianto Susantio


Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia akhir 2002 masih segar dalam ingatan kita. Mahkamah Internasional di Den Haag (Belanda), menetapkan Malaysia pemilik sah kedua pulau itu. Sengketa atas kedua pulau itu sudah berlangsung sejak 1970-an. Pemerintah kita waktu itu tenang-tenang saja, sedang Malaysia aktif dan terang-terangan mempromosikannya sebagai objek wisata baharinya.

Merunut sejarahnya, Sipadan dan Ligitan tak lepas dari masa penjajahan yang dialami Indonesia (Belanda) dan Malaysia (Inggris). Meski pemerintah Indonesia memiliki berbagai dokumen, namun Malaysia telah lama memanfaatkan kedua pulau tersebut. Itu yang menjadi kunci utama keberhasilan Malaysia atas Sipadan dan Ligitan.

Kasus itu pantas menjadi pelajaran berharga buat kita karena masih banyak pulau yang rawan sengketa, terutama pulau-pulau terluar, dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Australia, dan Timor Leste. Kalau tidak hati-hati, tidak mustahil sejumlah pulau akan terlepas lagi. Batas laut, hukum laut internasional, atau zone ekonomi eksklusif saja belum cukup. Perlu ada dukungan dari berbagai disiplin ilmu lain, seperti arkeologi, sejarah, antropologi, dan filologi (naskah kuno).

Banyak negara bersengketa memperebutkan pulau potensial. Misalnya sengketa Pulau Kuril di Samudra Pasifik antara Jepang dengan Rusia dan sengketa Pulau Falkland (Malvinas) di Samudra Atlantik antara Inggris dengan Argentina.


Metode Arkeologi

Enam negara Asia Tenggara dan Asia Timur kini bersengketa terhadap gugusan Kepulauan Spratly di Laut China Selatan. Keenam negara yang tengah memperebutkan pulau kaya minyak, gas, dan hasil perikanan itu adalah China, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam.

Filipina pernah menangkap kapal-kapal ikan Taiwan karena dianggap melanggar kedaulatan perairan mereka. China dan Vietnam pernah terlibat pertempuran sengit karena China mencoba menduduki wilayah itu. Vietnam bersikukuh pemilik sah pulau itu. Ini diperlihatkannya dengan mengirim sekelompok turis untuk pertama kalinya dalam sejarah ke Pulau Spratly pada April 2004.

Pemerintah Malaysia juga tidak mau kalah. Mereka membangun fasilitas kepariwisataan di salah satu gugusan kepulauan Spratly. Pembangunannya semakin gencar sejak kemenangannya atas Sipadan-Ligitan dari Indonesia.

China menganggap merekalah yang berdaulat penuh atas Spratly. Argumentasinya, mereka yang pertama kali menemukan sekaligus mendudukinya. Fakta itu didasarkan atas berbagai temuan arkeologis di sana. Sekitar 1991 tim arkeologi China menemukan kapak-kapak batu dan barang keramik. Setelah diidentifikasi, barang-barang kuno itu berasal dari zaman batu baru (neolitik) dan Dinasti Han (sekitar tahun 200 sebelum Masehi).

Benda-benda itu kemungkinan besar dibawa oleh para pedagang China ke Pulau Ganquan, salah satu gugusan kepulauan Spratly itu. Menurut penelitian, temuan-temuan tersebut mirip dengan artefak-artefak arkeologi sejenis di Pulau Hainan, pulau milik China. Sedangkan dalam dokumen sejarah China diungkapkan kepulauan itu sudah menjadi milik China sejak 770 SM.


Jejak Budaya

Jelas, metode arkeologi bisa mempertegas status sebuah pulau. Apalagi bila pulau yang disengketakan itu meninggalkan jejak-jejak budaya dari masa silam. Hal ini lebih memudahkan identifikasi, sehingga menentukan negara mana yang berhak atas pulau tersebut. Kecuali bila status sebuah pulau memang sudah jelas, misalnya dari batas garis pantai atau zone laut. Maka penelitian arkeologi dan/atau penelitian lain tidak diperlukan lagi.

Dalam keadaan tidak jelas, penelitian yang bisa dilaksanakan adalah ekskavasi atau penggalian yang biasanya diselenggarakan untuk membuktikan hipotesis. Penelitian lain adalah etnoarkeologi. Para peneliti sebaiknya berasal dari negara-negara yang sedang bertikai itu, ditambah peneliti independen.

Sesungguhnya, turun tangannya arkeologi merupakan cara yang paling ampuh untuk menyelesaikan persoalan kepemilikan pulau. Ini karena arkeologi berawal dari masa yang jauh ke belakang. Arkeologi pun memiliki sejumlah ilmu bantu yang terdiri atas ilmu-ilmu keras dan ilmu-ilmu lunak, terutama yang tercakup dalam ilmu-ilmu yang memakai istilah “arkeo” dan “paleo”, seperti arkeoastronomi dan paleobotani.

Pengkajian secara ilmiah oleh kalangan ilmuwan dipastikan lebih bertanggung jawab daripada diselesaikan secara hukum yang undang-undangnya berasal dari warisan masa kolonial. Kalau tidak ada bukti arkeologi, barulah menggunakan cara lain, seperti naskah kuno atau bukti sejarah.

Penulis adalah arkeolog,
tinggal di Jakarta

(Sumber: Sinar Harapan, Selasa, 4 April 2006)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik