Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Sabtu, 21 Maret 2009

Para Pemimpin Kita Seperti Sengkuni?

Views


Oleh: Ary Sulistyo

Peneliti Belanda seperti Hazeu dan AC Kruyt menemukan bahwa wayang sudah ada sejak zaman pemerintahan Airlangga. Menurut Hazeu, wayang mula-mula merupakan upacara syamanisme untuk memenuhi kebutuhan manusia mengadakan hubungan dengan roh-roh nenek moyang.

AC Kruyt berpendapat, berbagai suku bangsa di Indonesia punya semacam upacara tertentu untuk mengadakan hubungan antara manusia dengan dewa yang pada masyarakat Jawa dilakukan oleh seorang perantara, yakni dalang (Wibowo, 1976).

Dunia pewayangan dapat ikut serta mendewasakan masyarakat berupa pembekalan konsepsi-konsepsi yang mudah dirasakan dan diresapkan sehingga orang mampu menghadapi persoalan hidup yang beraneka ragam. Filsafat pewayangan membuat para pendukungnya merenungkan hakikat hidup, asal, dan tujuan hidup, hubungan gaib antara dirinya dengan Tuhan, serta kedudukan manusia dalam alam semesta yang gumelar ini (Wibisono, 1991).

Bagi orang Jawa, wayang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan, bahkan wayang diibaratkan sebagai bayangan sifat manusia. Pepatah Jawa berbunyi sangkan paraning dumadi yang artinya setiap insan Jawa harus menenggok dari mana ia berasal.

Ibaratnya kacang tidak boleh lupa dengan kulitnya. Manusia senantiasa eling atau ingat akan kesejatiannya, yang salah satunya direpresentasikan oleh wayang. Oleh sebab itu wayang purwa selalu dapat mengakomodasi, secara aktual berbagai kecenderungan yang berkembang di masyarakat dan dijadikan frame of reference oleh masyarakat dari masa ke masa (Kayam, 1981).

Dari banyaknya jenis wayang, yang terkenal adalah wayang purwa, yaitu jenis pertunjukan wayang kulit dengan lakon-lakon yang mula-mula bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan India, yaitu Mahabarata dan Ramayana. Purwa artinya mula-mula, yang asli, yang diambil dari empat kelompok mitos: pertama yang disebut “prasejarah” yang didasarkan sebagian pada Adiparwa (awal dari Mahabarata) dan sebagian pada mitologi Indonesia kuno. Kedua, siklus dari mitos-mitos yang dikenal sebagai Arjunasasrabau yaitu mengenai asal-usul tokoh penting dari Ramayana, dan di dalamnya lewat tokoh Kresna (yang seperti Rama adalah inkarnasi Dewa Wisnu) hubungan antara Ramayana dan Mahabarata. Ketiga, Ramayana sendiri, dan keempat, cerita tentang Pandawa dan Kurawa seperti yang dihubungkan di dalam Mahabarata (Holt, 2000).


Tokoh Sengkuni

Biasanya dalam sebuah pakeliran seorang dalang dituntut untuk dapat menguasai panca gatra pewayangan berupa: (1) seni pedalangan; (2) seni karawitan; (3) seni kriya; (4) seni widya (pendidikan dan falsafah); dan (5) seni ripta (lagu-lagu). Sehingga tokoh-tokoh yang akan dimainkan sesuai dengan karakteristiknya, lagu-lagu yang dipilih sesuai dengan suasana, kapan saat serius dan kapan harus mbanyol. Salah tokohnya adalah Sengkuni dalam Mahabarata, ia mempunyai peran yang penting.

Sengkuni adalah tokoh wayang Mahabarata Jawa yang menjabat sebagai Patih di Negara Astina, sebuah negara yang diperintah oleh Kurawa. Badannya kurus, mukanya pucat kebiru-biruan seperti pecandu. Cara bicaranya “klemak-klemak” terkesan menjengkelkan.

Orang yang mempunyai ciri fisik seperti ini cenderung berbuat licik, senang menipu, munafik, senang memfitnah, senang menghasut, senang mencelakakan orang lain, dan iri hati. Sengkuni dikenal juga sebagai pengemong atau penasihat, terutama tentang hal-hal pemerintahan bagi para Kurawa dalam memerintah Astinapura.

Di sisi gelap jiwa Sengkuni selalu menyimpan suatu dorongan sadis, yaitu “biarlah orang lain menderita.” Di mana pun juga, sebenarnya kita akan menemukan orang-orang yang memiliki kecenderungan-kecenderungan kasar yaitu ingin mempertahankan dirinya, tetapi orang lain harus dikorbankan.

Siasat licik yang dijalankan Sengkuni adalah mengadakan permainan judi dengan dadu dengan Pandawa (Yudistira). Sengkuni tahu bahwa Yudistira senang bermain dadu. Pandawa kalah, pertaruhannya adalah terusir dari istana dan mengembara dalam hutan.

Karena kejahatannya sampai kini tak seorangpun yang mau disamakan dengan tokoh Sengkuni. Tapi, bagaimanapun, masyarakat Jawa dan Bali percaya bahwa tokoh ini tidak dapat diremehkan.

Sengkuni adalah tokoh yang sangat sakti dalam perang Baratayuda karena memiliki Ajian Pancasona. Dengan ajian itu, ia akan kebal terhadap senjata apapun. Tetapi menjelang akhir perang setelah semua Kurawa terbunuh, barulah Sengkuni dapat dibunuh oleh Bima dengan kuku Pancanaka setelah diberi tahu kelemahannya oleh Sri Kresna.


Pemimpin Kita seperti Sengkuni?

Dalam suasana globalisasi ini, seni pewayangan yang hanya mengikuti pakem-pakem kuno tanpa adanya gubahan kreatif dari sang dalang sangat terancam untuk tergusur. Tetapi jika kreativitasnya hanya untuk mencari popularitas, nilai-nilai ataupun pesan moral dari wayang itu juga akan terkikis.

Banyak dalang muda justru mengubah karakter wayang yang dipentaskan agar mendapat perhatian penonton. Tokoh-tokoh yang mempunyai perwatakan serius seperti Bima, Kresna, dan lain sebagainya tahu-tahu diplesetkan menjadi tokoh yang suka bergurau.

Karena mungkin usia wayang yang sudah tua sehingga harus menuruti selera masyarakat yang berubah, pembelokan karakter itu dianggap wajar sebagai bumbu pertunjukan. Lalu kita dibuat tersentak melihat Karna ditampilkan lebih menarik dari saudara tirinya Arjuna, karena Karna lebih mengandung sifat-sifat manusiawi dibanding Arjuna yang “terlalu sempurna” sebagai seorang ksatria.

Begitu juga Yudistira mungkin sekali tidak akan diterima karena terlalu jujur dan terkesan jauh dari segala dosa dan kesalahan. Kresna yang dengan sedikit muslihatnya dianggap lebih benar. Durna, Duryudana, dan Sengkuni bahkan dipandang lebih colorful dalam memimpin negara ketimbang Pandawa.

Ini semua menunjukkan bahwa mungkin sekali peranan wayang sebagai frame of reference dari simbol-simbol akan mulai berakhir dan mulai menginjak pada peranannya yang lebih profan, yang lebih manusiawi, yakni sebagai drama, sebagai lakon modern.

Ini artinya penonton akan melihat perwatakan tokoh-tokoh wayang serta lakon-lakon yang mendukungnya tidak lagi sebagai tokoh-tokoh atau lakon-lakon teladan tetapi sebagai manusia-manusia dengan sejumlah kemungkinan. Ini juga terjadi pergeseran fungsi wayang kepada fungsi dikdakti modern, yakni memberi pengalaman-pengalaman, ekspose-ekspose, pilihan-pilihan dan kemungkinan-kemungkinan (Kayam, 1981).

Maka jangan kaget jika suatu hari muncul pemimpin seperti Sengkuni atau bahkan sudah ada Sengkuni-Sengkuni di sekeliling kita yang menduduki jabatan kepemimpinan, tapi tidak mempunyai jiwa memimpin. Lalu kita menerimanya sebagai biasa-biasa saja, dan tidak ada keterkejutan.

Karena kesakralan sudah bergeser, karena senda-gurau sudah menjadi kewajiban, dan karena hiburan tertawa lebih penting, serta harta dan kedudukan menjadi ukuran segalanya.

Penulis adalah mahasiswa Program Studi Arkeologi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

(Sinar Harapan, Rabu, 6 Juni 2007)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik