Pengumuman

Bila tidak ada di blog ini, silakan kunjungi hurahura.wordpress.com

Jumat, 27 Maret 2009

Situs Trowulan: Dirusak Sejak Zaman Belanda sampai Sekarang

Views


Oleh: John Joseph Sinjal

Jakarta – Proyek PIM (Pusat Informasi Majapahit) kembali mendapatkan reaksi dari masyarakat. Kali ini, Ketua MPI (Masyarakat Pariwisata Indonesia) Pontjo Sutowo menanggapi bahwa perusakan situs Majapahit yang terkategori paling kaya dan megah di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, dapat terjadi akibat proyek pembangunan PIM (Pusat Informasi Majapahit).

Pontjo menyayangkan kesalahan persepsi yang kini harus dihadapi para pelaku pariwisata Indonesia yang dinilai seenaknya merusak kawasan pelestarian budaya. ”Kami (MPI) tidak setuju dengan pembangunan PIM di kawasan situs Trowulan yang dalam konteks historis mempresentasikan kebesaran negeri ini di abad silam,” ujar Pontjo Sutowo pada diskusi terbatas bertema ”Situs Sejarah dan Jati Diri Bangsa” di Ruang Pertemuan MPI, Kamis (8/1) sore.

”Majapahit harus menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya, bahwa di Abad XIII kita telah memiliki nama besar sebagai sebuah kerajaan yang mewariskan sistem tata kota serta pengaturan pengairan yang rapi. Menunjukkan telah tingginya peradaban masyarakat kita di kala itu,” lanjutnya.

Pontjo menyayangkan pernyataan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik terkait pembangunan PIM, di mana ia berpendapat bahwa kawasan situs Majapahit terutama di wilayah Segara III dan IV menyulitkan lantaran masih banyak peninggalan situs yang tertutup tanah.

Sebaiknya, menurut Pontjo, Menbudpar memikirkan upaya pembangunan PIM secara lebih bijak dan tidak merusak situs yang ada. ”Jika memang ada kesalahan dalam proyek pemancangan fondasi tiang, sudah seharusnya pembangunan PIM dievaluasi dan dihentikan. Perlu dipikirkan lagi dimensi historis dan lingkungan, sehingga pembangunan PIM yang awalnya justru ingin menarik wisatawan, tidak malah menjadi kontradiktif,” paparnya.

Pembicara utama diskusi, arkeolog Dr Agus Arismunandar menyatakan pembangunan PIM berada di lokasi situs bekas kota utama Kerajaan Majapahit (1293-1521), atau wilayah Kedaton yang jadi tempat bersemayam para raja di sekitar area tanah seluas 4x5 kilometer persegi.

Kemudian perencanaan proyek pembangunan lebih luas lagi menjadi Majapahit Park dengan bangunan tiga tingkat beratap joglo dikelilingi air. Pada bangunan tersebut akan diisikan artefak-artefak dari situs Trowulan.

Pada perkembangannya, ungkap Agus Arismunandar, lokasi pembangunan PIM dengan berbagai pertimbangan dipindahkan ke wilayah belakang museum dengan fondasi beton sebanyak 60 tiang. Saat terakhir ditangani arsitek Baskoro Tedjo, lokasinya bergeser lagi dengan lokasi situs yang terbuka dengan tiang pancang bercungkup Surya Majapahit (bintang sudut delapan sebagai lambang Kerajaan Majapahit), serta permukaan tanah diganti kaca tembus pandang untuk memperlihatkan sejumlah koleksi situs Majapahit yang langka.

Namun, rencana tersebut pada akhirnya, menemui beberapa kesalahan prosedur karena teknik penggalian arkeologi ternyata diabaikan. ”Tukang bangunan bekerja asal-asalan dengan cangkul dan linggis, karena Baskoro tidak selalu berada di sana. Pembangunan fondasi jadi tidak terkontrol. Konstruksi situs tidak bisa dikembalikan sesuai muasalnya,” keluhnya.

Kerusakan situs Trowulan sesungguhnya sudah dimulai sejak para peneliti asal Belanda masuk pada awal abad 20. Kerusakan semakin banyak terjadi terutama sejak krisis moneter melanda Indonesia melalui penggalian tanah liat oleh penduduk setempat.

”Tetapi, Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa, karena penggalian dilakukan di kawasan tanah milik warga sendiri. Ketika Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) meminta tolong supaya penduduk ikut menyelamatkan situs-situs yang ada, itu pun tak membawa hasil. Dalam praktiknya, sebagian temuan diam-diam dijual warga. Pemerintah kemudian membeli kawasan itu buat proyek penelitian arkeologi,” ungkap Agus.

Yang merebak menjadi kontroversi adalah kondisi situs purbakala yaitu berupa fondasi bata merah, konstruksi sumur kuno juga terakota bekas peninggalan ibu kota Majapahit yang dikabarkan rusak oleh penggalian tanah saat membuat fondasi beton dan tembok proyek pembangunan Pusat Informasi Majapahit yang akan didirikan di samping Kompleks Museum Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.


Terkena Sedikit

Dihubungi SH secara terpisah, Kepala BP3 Jawa Timur I Made Kusumajaya mengatakan, pada kenyataannya, situs itu sudah rusak dari dulu. ”Karena sejak dulu, masyarakat telah mengeksploitasi dan menjual batu bata di lingkungan situs. Karena itu, perlu diangkat supaya bernilai,” ujarnya Jumat (9/1).

Selama ini, masyarakat menganggap temuan itu tak bernilai sehingga situs di Trowulan rusak dan tak terawat. ”Kami melakukan penyuluhan kepada masyarakat, tapi kondisi mereka yang miskin membuat mereka mencari nafkah dengan menggali batu bata, kendati itu tak membuat mereka menjadi kaya,” ujar Kusumajaya.

Menurutnya, para arkeolog di bawah koordinasi BP3 telah menggali PIM sesuai dengan struktur tanah termasuk dengan membangun cungkup di atasnya. Penggalian ini pun, menurut Kusumajaya, dilakukan dengan metoda arkeologi.

Menurutnya, tudingan itu tak berdasarkan fakta, karena sebetulnya pihak arkeolog yang terlibat telah menggali dan meneliti terlebih dulu. Saat mereka menemukan struktur yang acak-acakan, kemudian dipasanglah tiang. Apa yang dilakukan pada lubang pengecoran pun telah diteliti.

Kendati sempat terjadi gesekan di saat penelitian dilakukan, strukturnya masih bagus sehingga tak fatal dan terdokumentasi dengan baik. ”Sebagian besar memang sudah rusak, karena itu kita angkat struktur ini, yang rusak pun kita selamatkan. Banyak lubang yang belum diapa-apakan,” ujarnya.

Di dunia arkeologi, menurutnya, perbedaaan cara pandang itu telah ada sejak zaman Belanda. Menurutnya, ada akademisi yang bicara ilmiah, tapi ada juga yang mengutamakan pelestarian. ”Mereka itu tak terlibat langsung, kita telah berupaya semaksimal mungkin. Kami lebih ke pelestarian agar situs ini bermanfaat. Kita teliti baru kita ungkapkan sehingga situs arkeologi ini dapat memberi informasi dan berguna buat masyarakat. Bagi orang awam hal ini sulit dipahami,” tegas Kusumajaya.

Menurutnya, selama ini belum ada kesepakatan kode etik standar dalam penelitian arkeologi karena di lapangan, semuanya terjadi secara situasional. Dia mencontohkan candi di Bali yang pernah ditemukan sebagian saja, namun tetap dipugar total agar utuh kendati data yang didapatkan sangat terbatas.

Pihaknya akan berkomunikasi dengan semua pihak. Namun, menurut Kusumajaya, kita bisa juga belajar dari bangsa lain. Arkeolog Jepang misalnya, dapat berkembang secara dinamis, membuat penelitian untuk orang banyak. Prinsipnya ke arah pemulihan arsitektur, selama data di atas kertas masih ada dan valid, bila mereka menemukan reruntuhan maka mereka berani meneruskan pembangunannya. ”Di Bali telah dilakukan pada Candi Mengening. Itu dengan studi analogi, jadi saat membangun candi tak ngawur, tapi juga diaplikasikan di atas kertas,” paparnya.

Soal Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di proyek PIM, menurut Kusumajaya, izin itu sudah didapatkan dari bupati ketika peletakan batu pertama dari Presiden. ”Ini mengada-ada, sudah melebar ke mana-mana. Perizinannya sudah kita urus kok prosedurnya dengan baik,” ujar Kusumajaya. (sihar ramses simatupang)

(Sinar Harapan, Sabtu, 10 Januari 2009)

Tidak ada komentar:

BUKU-BUKU JURNALISTIK


Kontak Saya

NAMA :
EMAIL :
PERIHAL :
PESAN :
TULIS KODE INI :

Komentar Anda

Langganan Majalah Internasional

Jualan Elektronik